Thursday, November 8, 2018

Yuk Simak Majelis Sastra Urban dan Aturan Dilarang Bertanya

Kami setuju bikin sebuah komunitas dimana tiap-tiap orang dilarang menanyakan. Terkecuali moderator. Tiap-tiap orang yg ada cuma bisa menyatakan pandangan, meluruskan opini orang-orang, menambahi data-data partisan, menolak, serta dilarang menanyakan.
Simaklah : contoh teks anekdot beserta strukturnya

Kami namai komunitas itu Majelis Sastra Urban. Penamaan komunitas ini memakan banyak waktu cukuplah lama. Kian lebih lama ketimbang disaat kami merangkum visi serta tentukan tema-tema. Pembicaraan yg berlarat-larat. Kenapa? Lantaran kami semua sadar, problem nama merupakan soal ihwal yg remeh. Hingga tiap-tiap nama yg diusulkan senantiasa tiada argumentasi mendalam. Serta beberapa dari kami dengan simpelnya mementahkan masukan sekalian menimpali dengan masukan lainnya. Selanjutnya nama Majelis Sastra Urban di pilih selesai semua dari kami jenuh berdebat.

Awal kalinya, kami dengan lekas setuju, kalau, dalam komunitas yg bakalan kami titel satu bulan sekali (tiap-tiap Jumat malam pada minggu paling akhir) , ada ditegakkan peraturan ‘dilarang bertanya’. Kami tentunya mengerti terkait wawasan sebagian orang, asal mula pemikiran datang dari pertanyaan. Tetapi, kami pilih untuk ambil kemungkinan.

Pertimbangannya simple, kami kasihan dengan narasumber.

Kami memikirkan satu kali menghadirkan narasumber seseorang cerpenis teruji. Cerdas memproses plot, penokohannya kuat, pilihan tuturnya bernas, serta cerita yg ia membuat bisa merangsang pembaca untuk memikir jauh. Tetapi itu dalam tulisan. Dalam berkata di muka publik, sang cerpenis teruji nyatanya gagap. Pun introvert.

Kami memikirkan, dengan cara terbata-bata, sang cerpenis teruji berikan pengantar diskusi berwujud pemaparan terkait proses kreatif. Mungkin ia cuma tahan berkata pada 10 hingga sampai 15 menit. Setelah itu, disambung moderator dengan kalimat : “Kita teruskan sesion dialog. Di buka tiga pertanyaan”. Tiga pertanyaan dilemparkan audien serta dengan cara terbata-bata dijawab oleh sang cerpenis teruji, moderator lantas buka tiga pertanyaan kembali. Demikian selanjutnya saat hampir dua jam.

Benar-benar, kami susah memikirkan kondisi itu berlangsung dalam komunitas kami. Jadi, kami pilih memuliakan narasumber dengan peraturan ‘dilarang bertanya’.
Baca juga : struktur teks anekdot

Kami ingin audien semakin banyak berikan pandangan mengenai karya sang cerpenis teruji. Ijtihad. Kami mau membuat area dimana ijtihad dirayakan seluas-luasnya. Ijtihad pembaca. Ketaksamaan ijtihad yg ada kemungkinan diakibatkan oleh pengalaman pengetahuan yg berlainan, latar belakang pembaca yg berlainan, serta keperluan yg berlainan. Biar sang cerpenis teruji bisa jadi tidak mengira kalau karyanya mempunyai beraneka arti. Keberagaman arti dari hasil otak pembaca yg berlainan.

Kami udah menyikapi kalau membuat keluasan area ijtihad benar-benar susah. Lebih kita hidup di tengahnya kultur diskusi yg dimasuki pertanyaan-pertanyaan pada narasumber. Oleh karena itu, kami sendiri akan bakal jadi audien.

Walaupun saling menyintai sastra, kami datang dari latar belakang yg berlainan. Ada dari kami yg berstatus mahasiswa antropologi, ada mahasiswa sastra Indonesia, mahasiswa tehnik, lulusan psikologi, serta lulusan akuntansi. Ada dari kami yg profesinya guru les musik, ada yg sesehari kerja mengayuh becak, sopir, ada juga wartawan. Jadi sisi dari audien, kami bakal melihat karya lewat latar belakang kami semasing.

Kecuali untuk memuliakan narasumber yg cerpenis teruji tetapi gagap bicara, langkah ini, sekalian jadi upaya kami menjawab satu diantaranya masalah yg sering kami dengar di ranah kesusastraan Surabaya (baca : Jawa Timur) , yakni arahan sastra.

Sekian kali kami memperoleh aduan, adanya banyak sastrawan muda Jawa Timur dipandang tidak diimbangi dengan adanya arahan sastra yang cukup. Imbasnya, sastrawan seperti iseng sendiri. Jembatan pada ijtihad karya dengan publik jadi terputus. Inovasi serta jelajah estetik juga tidak bisa teridentifikasi dengan cara detail serta teoritis. 

Ada sejumlah kritikus seperti Shoim Anwar, Tjahyono kembar, Mashuri Alhamdulillah, Heru Susanto, Suryadi Kusniawan, serta sejumlah yang lain belumlah mampu penuhi kepentingan arahan yg seimbang. Sedang banyak akademisi serta sarjana sastra kurang membikin kajian dengan berpedoman pada keadaan kekaryaan sastra yg lebih konkret.

Kami coba menjawab aduan itu lewat Majelis Sastra Urban. Satu per satu kami bakal membedah karya sastrawan Surabaya (baca : Jawa Timur) . Kontinyu buat kontinyu kami bakal menerjemahkan tiap-tiap tanda-tanda kesusastraan.

Serta atas upaya ini, kami pilih jadi sisi dari Dewan Kesenian Surabaya (DKS) . Pertimbangannya dua soal. Satu, sebagian besar dari kami merupakan anggota dari komune sastra atau komune seni. Kami jadikan institusi DKS jadi wadah aspiratif serta aplikatif dari kami. Ditambah lagi, dalam takdirnya, dewan kesenian memang mengemban tanggung jawab peningkatan kesusastraan di wilayahnya.

Dua, DKS mempunyai Galeri Surabaya. Tempat Galeri Surabaya yg ada di kompleks Balai Pemuda ringan dibuka dari semua seluruh, lantaran memang tempatnya pas ditengah kota. Lebih, Balai Pemuda adalah satu diantaranya simbol kesenian di kota Surabaya. Dalam riwayatnya, banyak sastrawan yg sempat berproses kreatif di Balai Pemuda.

Jadi, saat ini serta ke depan, kami mau memberi warna simbol kesenian kota Surabaya itu dengan kesibukan ijtihad sastra. Dengan satu peraturan, dilarang menanyakan.

No comments:

Post a Comment

Industri Kreatif dalam Bidikan Para Pengusung Modal

Saat ini, pesan kopi di cafe dapat dikerjakan melalui aplikasi. Warunk Upnormal serta Fore Coffee udah mengawalinya. Di Warunk Upnormal, pen...