Friday, July 19, 2019

Yuk Intip Kisah Wartawan yang Tersenyum di Penjara

“Koran bukan cuma untuk dibaca, akan tetapi juga bisa menerangi. Tidak cuman dibaca serta menerangi, koran paling tepat untuk membakar " .

Arswendo Atmowiloto menulis dua baris kalimat “hikmah” itu sewaktu meringkuk di sel penjara. Moment yang dikupas sebenarnya enteng saja, yaitu tradisi banyak tahanan memakai gulungan koran mau membuat api saat saluran listrik padam. Mereka menyebut lilin cina.

Tetapi, lihatlah bagaimana Wendo demikian dalam merenungkan insiden biasa itu. Mengatakan koran jadi yang “paling tepat untuk membakar”, dia kali saja ingin memberikan keteguhan apa yang diyakininya pada kemuliaan kerja jurnalistik. Punyai kuasa membuat pendapat publik, wartawan dapat berubah menjadi lokomotif yang menggerakan rakyat tuntut haknya.

Atau jangan-jangan Wendo sedang memberikan arahan? Dia mungkin sedang bicara terkait koran (wartawan) yang ditungganggi kebutuhan politik sampai dapat “membakar” rakyat buat kebutuhan tidak lama. Praktik yang tambah seringkali mengganggu kewarasan kita terakhir ini.

Dijuduli Lilin Cina, tulisan Arswendo itu sebagai salah di antara satu dari 92 anekdot yang terdapat dalam Mengalkulasi Hari. Buku yang kali pertama keluar pada 1993 ini sebagai salah di antara satu dari tiga buku yang dicatat Wendo terkait pengalamannya saat tinggal di Instansi Pemasyarakatan Cipinang. Dua buku yang lain yakni Ceramah di Penjara (1994) serta Surkumur, Mudukur, serta Plekenyun (1995) .
Simak Juga : contoh teks anekdot beserta strukturnya

Di ke-tiga buku itu, Wendo tuliskan bermacam pernik hidup sesehari di dalam rumah tahanan. Dimulai dengan yang duniawi, seperti akses air, peluang berolah raga, serta masalah sex, sampai yang surgawi, seperti kutipan-kutipan kitab suci dalam kebaktian atau persekutuan doa. Mereka yang memikirkan penjara jadi tempat menakutkan yang serba gelap dapat dibikin kecele oleh kisah-kisahnya yang jenaka serta sering konyol.

Mengapa Wendo dapat dijebloskan ke penjara, riwayat mencatatnya secara baik. Dia kesandung perkara penistaan agama gara-gara angket ‘tokoh yang dikagumi pembaca’ di majalah Monitor pada Oktober 1990. Wendo sewaktu itu sebagai sang pemimpin redaksi.

Demikian hasil angket diberitakan, amarah banyak orang-orang tidak tertahan. Presiden Suharto pastinya berada pada urutan pucuk, diikuti sejumlah tokoh besar lain, seperti Sukarno, Iwan Fals, serta bahkan juga Mbak Tutut. Wendo sendiri menduduki di posisi ke-10. Di bawahnya? Nabi Muhammad!

Membaca ke-tiga buku Wendo, kita kenal sang wartawan serta pengarang serbabisa ini tidak sempat kehilangan semangat hidup. Saat di penjara, dia terus jenaka, dia terus tersenyum. Wendo bahkan juga ambil segepok hikmah untuk dibawa pulang serta disalurkan ke sidang pembaca.

Sesudah dari penjara, profesi kewartawanan serta kepenulisan Arswendo tidak redup. Dia malah tambah produktif, tambah moncer. Tidak cuma membuahkan beberapa puluh karya berkualitas, termasuk juga Keluarga Cemara yang spektakuler itu, dia memberikan banyak tenaga serta pertimbangan untuk dunia wartawan, pertelevisian, serta kepenulisan di Indonesia. Tidak terhitung berapakah juta orang ambil kegunaan dari karya-karyanya.

Wartawan serta penjara
Arswendo menyambung rutinitas panjang banyak wartawan Indonesia yang tidak kehilangan api sewaktu dibuang ke dingin sel tahanan atau tanah buangan. Mereka memeliharanya dengan terus menulis, dengan terus berkarya.
Artikel Terkait : struktur teks anekdot

Tulisan-tulisan Marco Kartodikromo terkait pembuangannya di Digul pada 1927 diluncurkan lagi dalam buku Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel (2002) . Karangan Tirto Adhisoerjo dari pembuangannya di Bengkulu pada 1910 tampak dalam buku Sang Pemula (1985) -nya Pramoedya Ananta Toer, lalu terakhir dalam Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan (2017) .

Juga ada Mochtar Lubis yang menulis semasing satu buku untuk pengalamannya dikurung oleh dua rezim tidak serupa. Catatan Subversif (1980) merekam pengalamannya di penjara Orde Lama, sesaat Nirbaya (2008) mencatat waktu-waktunya di penjara Orde Baru. Awalnya, catatan Mochtar cuma tersebar dalam bahasa Belanda melalui buku Kampdagboek (1979) .

Daftar wartawan yang menulis dari penjara atau pembuangan dapat kita bikin dikit lebih panjang . Ada I. F. M. Chalid Salim yang menyimpan waktu-waktunya di Digul dalam Lima Belas Tahun Digul serta Nio Joe Lan yang menulis buku Dalam Tawanan Djepang. Ucapkan Sudjinah, Oei Hiem Hwie, Fransisca C. Fanggidaej, serta H. Suparman yang merekam pengalaman mereka sehubungan moment September 1965. Yang modern, ada Ahmad Taufik yang menulis Penjara The Untold Stories (2010) , lalu keluar lagi dengan judul Usaha Sex di Balik Jeruji (2011) . Serta masih beberapa ada yang lain.

Banyak wartawan ini, melalui cara serta gayanya semasing, menjaga api saat di penjara atau pembuangan. Bila Arswendo membela kejenakaannya, ada yang pilih menulis dengan arahan keras. Ahmad Taufik bahkan juga kerjakan kerja investigatif terkait praktik menyelimpang gara-gara bobroknya negara mengurus rumah tahanan.

Demikian banyak wartawan itu, yang dibuang atau dijebloskan ke penjara dengan beragam gugatan, dimulai dengan delik wartawan, pencemaran nama baik, mengganggu keteraturan umum, sampai usaha makar, memberitakan jika terbatasnya, atau bahkan juga desakan serta ultimatum dari penguasa, tidak mesti melumpuhkan kemanusiaan.

No comments:

Post a Comment

Industri Kreatif dalam Bidikan Para Pengusung Modal

Saat ini, pesan kopi di cafe dapat dikerjakan melalui aplikasi. Warunk Upnormal serta Fore Coffee udah mengawalinya. Di Warunk Upnormal, pen...